Reviewmu.com

Rabu, 23 Juli 2008

Jampi jampine apa mas?

Seperti biasa sepulang kantor saya selalu melewati jalan Kaligawe Semarang. Maklum kantor saya berada tidak jauh dari jalan yang selalu sibuk dari pagi hingga malam hari itu. Sejak dari kantor saya lihat ban belakang kanan mobil saya kelihatan agak kempes. Memang beberapa hari terakhir ini ban tersebut selalu begitu. Habis dipompa hari ini, besok pagi anginnya sudah mulai habis. Berhubung belum ada waktu untuk nambal, ya sementara saya sempatkan untuk selalu mengisi angin sebelum atau sesudah pulang kantor.Saya tahu banyak sekali tempat tambal ban atau tambah angin ditepi jalan Kaligawe. Namun karena lalu-lintasnya sangat padat maka saya terpaksa mencari tempat tambal ban yang tidak begitu dekat dengan tepi jalan. Biar aman dari lalu-lintas, pikir saya. "Mau apa, mas?", kata bapak tukang tambal ban yang masih keliatan cukup muda - sekitar 30 - 40 tahunan. "Ini mas, mau ngisi angin. Ban belakang kanan itu lho mas", jawab saya. Sembari nambah angin saya sempakan ngobrol beberapa saat dengan bapak ini, hingga tekanan ban saya nampak telah mencapai angka 30 di meteran yang dia pergunakan. Saya katakan kepada bapak itu, "Cukup pak, udah 30". "Lho kok mas tahu? Maghrib kayak gini masih bisa ngeliat jelas juga ya mas?", kata bapak tambal ban. "Bukan begitu pak, kalo soal isi angin atau tambal ban saya tentu paham. Wong bapak saya juga dulunya tukang tambal ban", jawab saya. Memang orang tua saya seorang wiraswasta di suatu kota kecil di Jawa Tengah yang memiliki bidang usaha berkaitan dengan dunia ban seperti vulkanisir, jual beli ban dan tentu saja tambal ban.
Meskipun memiliki beberapa karyawan tetapi orang tua saya selalu telah siap di tempat usahanya sejak pagi hari sebelum jam berangkat sekolah. Jika ada pelanggan yang datang untuk menambal ban atau menambah angin maka tentu saja orang tua saya yang akan menangani langsung permintaan tersebut. Beliau tidak pernah menolak rejeki dan dengan cekatan maka pekerjaan menambal ban akan beliau tangani sendiri. Dari hasil usahanya inilah beliau berhasil mengirim semua anak-anaknya sekolah hingga perguruan tinggi, termasuk saya. Saya sendiri selalu merasa bangga akan etos kerja beliau, dan saya juga selalu bangga jika mengatakan bahwa profesi orang tua saya adalah tambal ban. Meskipun hal itu tidak sepenuhnya benar.
"Lho, anak tukang tambal ban kok bisa sukses? Jampe-jampene apa, mas?", tanya bapak tukang tambal ban dengan agak sedikit kaget. Ya, bapak ini kaget karena tidak pernah terpikirkan olehnya bahwa anak seorang tukang tambal ban juga bisa sukses jika mau bekerja dan berusaha keras. Dia mungkin berpikir bahwa anaknyapun akan jadi tukang tambal seperti dia nantinya. "Jampe-jampenya gampak pak", jawab saya. "Bekerja keras, jujur dan berdoa", tambah saya. Pembicaraan saya dengan bapak tukang tambal mungkin tidak lebih dari dua atau tiga menit saja. Tetapi kesannya begitu mendalam di hati saya. Saya trenyuh ketika mengetahui bahwa banyak orang yang sudah putus harapan atau kehilangan impian, sehingga bekerja dan berusaha keras sebagai kunci sukses tidak lagi terpikirkan olehnya. Bagi dia tidak mungkin anak tukang tambal ban bisa menjadi orang kantoran yang sukses, pengusaha atau apapun. Di sepanjang jalan tol menuju rumah saya termenung sendiri di dalam mobil. Apa jadinya jika semua orang berpikir bahwa untuk sukses diperlukan jampe-jampe yang neko-neko? Berapa rakyak Indonesia yang berpikiran pendek seperti itu? Apakah inspirasi dan motivasi menjadi lenyap begitu saja hanya karena secara ekonomi kita lemah?

Tidak ada komentar: